Ujian Nasional (UN) merupakan istilah bagi penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berbagai polemik yang berkepanjangan mengenai Ujian Nasional di Indonesia tampak baik bagi demokrasi di negeri ini. Tapi satu hal yang jangan terlupa bahwa siswa peserta UN jangan sampai dibuat ragu atau takut tentang kepastian Ujian Nasional sebagai sarana untuk mengukur kemampuan mereka di bangku sekolahnya. Walaupun UN mengundang pro dan kontra tapi hendaknya tetap di jalur yang semestinya, karena bagaimana pun para siswa terutama siswa SMA / MA adalah para calon Agent of Change yang akan berperan untuk membawa perubahan-perubahan konstruktif bagi negeri ini.
Pertempuran pamungkas mulai digelar.
Ujian Nasional (UN) Utama untuk jenjang Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah (SMA/MA) dilaksanakan pada 18-21 April 2011 ini. Sedangkan UN Utama jenjang Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/ MTs/SMPLB) pada 25-28 April 2011. Dan, UN Utama Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/MI/ SDLB) pada 10-12 Mei 2011.
Meskipun perdebatan dan kritik akademis mengenai UN sama sekali tak boleh dianggap sebagai angin lalu, namun fokus kita pada hari-hari ini haruslah bagaimana mempersiapkan anak-anak didik untuk sukses menempuh UN. Indonesia memang masih dalam tahap harus terus belajar untuk menemukan sistem evaluasi pendidikan yang tepat. Tetapi, konsentrasi kita pada saat ini haruslah pada optimasi perjuangan para siswa untuk meraih sukses UN.
Persiapan belajar sudah dilakukan, doa-doa bersama pun sudah banyak dipanjatkan. Sekaranglah waktunya bagi para siswa untuk terjun di medan laga. Meskipun tak setegang tahun-tahun lalu, karena kelulusan UN kini ditentukan berdasarkan nilai akhir yang merupakan gabungan dari nilai UN dan nilai sekolah dari mata pelajaran yang di-UN-kan dengan pembobotan 60:40, ujian akhir sekarang tetaplah menjadi ajang pertempuran yang sangat menentukan.
Bagi generasi muda Indonesia, tumpuan harapan masa depan bangsa, UN seharusnya menjadi momen untuk menegakkan kejujuran. Bangsa ini telah merusak dirinya sendiri dengan berbagai kebohongan, dusta dan ketidakjujuran. Bahkan para pendidik di negeri ini tergiur untuk melakukan dosa-dosa plagiarisme yang keji. Maka, lebih baik lulus dengan nilai pas-pasan, bahkan lebih baik tidak lulus, namun menjalani UN dengan kejujuran. Prinsip dan praktik kejujuran harus ditegakkan dalam pelaksanaan UN pada hari-hari ini.
Pengabaian kejujuran terjadi karena kurangnya penekanan pada fungsi pendidikan sebagai agen pembangunan moral masyarakat. J W Schoorl dalam Danim (2006) mengatakan bahwa praktik-praktik pendidikan harus merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan SDM dengan derajat moralitas yang tinggi.
Menurut Danim (2006), Amerika Serikat sendiri mengarahkan visi pendidikan mereka untuk menciptakan masyarakat yang demokratis.
Jadi, penekanan filosofisnya justru bukan sekadar pada usaha menyinergikan pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Mereka mengacu pada pandangan John Dewey yang mengatakan bahwa agenda utama pendidikan secara fungsional adalah membentuk komunitas-komunitas sosial ideal sebagai bagian dari proses transformasi pendewasaan peserta didik.
Menghadapi hari-H UN, kesiapan psikologis mutlak diperlukan sehingga faktor dukungan moral dari keluarga (ayah, ibu, kakak, bahkan kakek dan nenek) sangat penting. Fakta menunjukkan adanya korelasi antara kehidupan keluarga yang tidak kondusif dengan kegagalan studi dan perilaku menyimpang para pelajar. Menurut majalah Fortune edisi 10 Agustus 1992 saja, di Amerika Serikat ada 2.200 pelajar (SMP dan SMA) putus sekolah (drop out) setiap harinya.
Sementara itu, dalam satu hari pula, ada 2.750 anak menerima kenyataan pahit bahwa orangtua mereka bercerai. Kecuali itu, ada lebih dari 135.000 remaja membawa pistol dan senjata tajam ke sekolah per harinya. Riset membuktikan banyaknya remaja gagal sekolah dan berperilaku kriminal berasal dari keluarga-keluarga bermasalah.
Kisah-kisah sukses “sekolah rumah” atau homeschooling (home education, home-based learning) yang menurut riset Dr Ray dalam Sumardiono (2007) mengalami perkembangan siswa sebesar 15 persen per tahun di AS telah membuktikan bahwa kepedulian keluarga merupakan kunci sukses penting bagi prestasi belajar anak. Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara dan Buya Hamka adalah produk-produk pendidikan berbasis keluarga. Mari kita dukung anak-anak kita untuk meraih sukses Ujian Nasional!
SEMOGA ANAK-ANAK DIDIK KITA BISA MENJALANI UJIAN NASIONAL INI DENGAN BAIK DAN LULUS 100 % DENGAN NILAI YANG MEMUASKAN. AMIN!!!!